ETIKA BISNIS DALAM ISLAM

Minggu, 10 Oktober 2010

Ocktaviani. D = 10207830

4 ea11

Etika Bisnis dalam Islam = Solusi yang Berkeadilan

Apakah dalam bisnis diperlukan etika atau moral? Jawabannya sangat diperlukan dalam rangka untuk melangsungkan bisnis secara teratur, terarah dan bermartabat. Bukanlah manusia adalah makhluk yang bermartabat?

Islam sebagai agama yang telah sempurna sudah barang tentu memberikan rambu-rambu dalam melakukan transaksi, istilah al-tijarah, al-baiu, tadayantum dan isytara (Muhammad dan Lukman Fauroni, 2002: 29) yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai pertanda bahwa Islam memiliki perhatian yang serius tentang dunia usaha atau perdagangan. Dalam menjalankan usaha dagangnya tetap harus berada dalam rambu-rambu tersebut. Rasulullah Saw telah memberikan contoh yang dapat diteladani dalam berbisnis, misalnya:

1. Kejujuran.

Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu pengetahuan, dan hal-hal yang bersifat rahasia yang wajib diperlihara atau disampaikan kepada yang berhak menerima, harus disampaikan apa adanya tidak dikurangi atau ditambah-tambahi (Barmawie Umary, 1988: 44). Orang yang jujur adalah orang yang mengatakan sebenarnya, walaupun terasa pahit untuk disampaikan.

Sifat jujur atau dapat dipercaya merupakan sifat terpuji yang disenangi Allah, walaupun disadari sulit menemukan orang yang dapat dipercaya. Kejujuran adalah barang mahal. Lawan dari kejujuran adalah penipuan. Dalam dunia bisnis pada umumnya kadang sulit untuk mendapatkan kejujuran. Laporan yang dibuat oleh akuntan saja sering dibuat rangkap dua untuk mengelak dari pajak.

يأيها الذين امنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين #

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan

hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur

(Q.S. al-Taubah: 119)

والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون #

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amant

(yang dipikulnya) dan janjinya

(Q.S. al-Mu’minun: 8)

Rasulullah Saw pada suatu hari melewati pasar, dimana dijual seonggok makanan. Beliau masukkan tangannya keonggokan itu, dan jari-jarinya menemukannya basah. Beliau bertanya: “Apakah ini hai penjual”? Dia berkata “Itu meletakannya di atas agar orang melihatnya? Siapa yang menipu kami, maka bukan dia kelompok kami” (Quraish Shihab, Ibid.: 8).

2. Keadilan

Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.

واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويلا

(الإسراء:35)

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah

dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(Q.S. al-Isra’: 35)

Dalam ayat lain yakni Q.S. al-Muthaffifin: 1-3 yang artinya:

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari

orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar

atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”

Dari ayat di atas jelas bahwa berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang celaka (wail). Kata ini menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Berbisnis dengan cara yang curang menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini menghilangkan nilai kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, kemudian ia terpuruk dalam kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya penuh dengan kecurangan, ketidakadilaisnisnya, karena ini persoalan mu’amalah dunyawiyah, yang penting barangnya halal. Halal dan haram adalah persoalan prinsipil. Memperdagangkan atau melakukan transaksi barang yang haram, misalnya aln dan mendzalimi orang lain.

3. Barang atau produk yang dijual haruslah barang yang halal, baik dari segi dzatnya maupun cara mendapatkannya. Berbisnis dalam Islam boleh dengan siapapun dengan tidak melihat agama dan keyakinan dari mitra bkohol, obat-obatan terlarang, dan barang yang gharar dilarang dalam Islam (Muhammad dan R.Lukman F, op.cit.: 136-138).

0 komentar:

 
10207830 - Ocktaviani. D - by Templates para novo blogger 2007